Apa itu sutrah?
Sutrah berarti pembatas, yang dimaksud dengan sutrah adalah pembatas yang diletakkan di depan
mushalli untuk menjaga shalatnya dari kekurangan atau pemutusan.
Disyariatkannya sutrah
Berdasarkan sunnah
qauliyah dan
fi’liyah dari Rasulullah saw. Dari Abu Said al-Khudri berkata, Rasulullah saw bersabda, “
Jika salah seorang dari kalian shalat maka hendaknya dia shalat ke sutrah dan hendaknya dia mendekat kepadanya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Juhaifah bahwa Nabi
saw menancapkan tombak pendek, beliau shalat kepadanya sementara
keledai, anjing dan wanita lewat di depannya dan beliau tidak mencegah.
Untuk siapa sutrah disyariatkan?
Untuk imam dan munfarid, adapun makmum maka sutrahnya adalah sutrah
imam, Imam al-Bukhari menulis sebuah bab dalam Shahihnya, “Bab Sutrah
al-Imam Sutrah man Khalfahu.” Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas
berkata, “Aku datang mengendarai keledai betina, pada saat itu usiaku
mendekati dewasa sementara Rasulullah saw shalat dengan manusia di Mina
tanpa menghadap ke dinding, lalu aku melewati sebagain shaf, aku turun
dan melepaskan keledai, aku masuk ke shaf dan tidak seorang pun yang
mengingkariku.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya.
Mendekat kepada sutrah
Berdasarkan hadits Abu Said di atas, “
Dan hendaknya dia mendekat kepadanya.”
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Saad berkata,
“Jarak antara tempat berdiri Rasulullah saw dengan dinding adalah
selebar jalan bagi domba untuk lewat.” Dalam kitab
al-Muhadzdzab disebutkan, kurang lebih tiga hasta.
Apa yang dijadikan sebagai sutrah?
Imam Muslim meriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidullah berkata, Nabi saw bersabda, “
Jika
salah seorang dari kalian meletakkan seperti sandaran pelana di
hadapannya maka silakan dia shalat dan tidak perlu memperdulikan siapa
yang lewat di balik itu.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahih menurut Imam
an-Nawawi dari Atha` bin Abu Rabah, salah seorang tabiin, berkata,
“Sandaran pelana kurang lebih satu hasta.”
Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ 3/248 berkata, “Sutrah yang
dianggap adalah sutrah dengan tinggi sandaran pelana, adapun besarnya
maka tidak ada patokan berdasarkan hadits Sabrah bin Ma’bad bahwa Nabi
saw bersabda, “
Gunakanlah sutrah dalam shalat sekali pun hanya dengan anak panah.” Diriwayatkan oleh al-Hakim, dia berkata, ‘Shahih di atas syarat Muslim’.
Imam Malik berkata, minimal seperti tombak pendek berdasarkan hadits Abu Juhaifah di atas. Wallahu a’lam.
Garis shaf atau ujung sajadah sebagai sutrah?
Masalah ini kembali kepada hadits Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “
Jika
salah seorang dari kalian shalat maka hendaknya dia meletakkan sesuatu
di hadapannya, jika tidak mendapatkan maka hendaknya dia menancapkan
tongkat, jika dia tidak mempunyai tongkat maka hendaknya dia membuat
garis, maka apa yang lewat di depannya tidak merugikannya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad.
Shahih tidaknya hadits ini diperdebatkan, Imam asy-Syafi’i,
al-Baghawi dan Sufyan bin Uyainah menyatakannya dhaif, sementara Imam
Ahmad, Ali bin al-Madini, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi menyatakannya
shahih. Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hasan.”
Menurut pendapat yang menyatakan hadits ini dhaif, garis tidak bisa
dijadikan sebagai sutrah dan ujung sajadah atau garis shaf sama dengan
garis. Tetapi menurut pendapat yang menyatakannya shahih, garis mungkin
dijadikan sebagai sutrah, namun sesuai dengan redaksi hadits hal itu
berlaku manakala tidak ada selainnya untuk dijadikan sebagai sutrah.
Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)
Sumber:
http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatfiqih&id=144